Ilham dan adi sedang berlari-lari kecil di sekeliling lapangan. Tiba-tiba Adi berlari menepi. Ia melihat Bik Yati, pembantu di rumahnya, lewat. Wajah Bik Yati tampak bingung.
“Bik, Bik, ada apa?”sapa adi mengagetkan wanita itu.
“Eh mas Adi! Ini, mas. Ini bikin bibik bingung,” Bik Yati membuka genggaman tangannya.
“Permen?” Ilham dan adi terbelalak.
”Gara-gara ini bibik kena marah ibu,” kata Bik Yati sedih.
“Ah, masa ibuku marah hanya gara-gara permen,” Adi tidak percaya.
“Tadi ibu menyuruh bibik membeli minyak di toko Pak Salim. Ada kembalian empat ratus rupiah. Yang dua ratus rupiah berupa uang, yang sisanya diganti empat permen ini oleh Pak Salim,” jelas Bik Yati.
“Jadi ibu Adi marah karena uangnya diganti permen ini?” tanya Ilham.
Bik Yati mengangguk.
“Waktu itu Pak Salim berkata ia tidak punya uang kecil?” tanya Ilham lagi.
“Pak Salim tidak bilang apa-apa. Tapi, biasanya memang begini kan,” jawab Bik Yati polos.
“Sudahlah bik, tak usah bingung. Permen itu biar saya yang ganti,” Adi mengambil uang dua ratus rupiah dari dalam saku lalu memberikannya pada Bik Yati. Bik Yati senang sekali. Esok harinya, ternyata ibu sudah tahu perbuatan Adi.
“Jadi kamu yang mengganti permen itu?” suara ibu garang. Adi mengangguk lemah. Ibu menggeleng-geleng kepala.
“Huh, ibu jadi kehilangan kesempatan memberi pelajaran pada Bik Yati!”
Adi tertegun. “Pelajaran?”
“Iya. Coba pikir. Sejak toko itu berdiri dua bulan lalu, setiap kali ibu menyuruh Bik Yati belanja di sana, selalu saja kembaliannya permen.”
“Itu kan biasa, Bu! Artinya Pak Salim sedang tidak punya uang recehan. Jadi diganti permen,” ujar Adi.
“Memang biasa. Tapi kalau terus menerus namanya luar biasa,” kata ibu kesal. “Uang bukan tujuan utama ibu. Ibu ingin Bik Yati bertanya pada Pak Salim. Jadi bukan Cuma menerima, jika hak kita diganti dengan benda lain,” jelas ibu. “Nah sekarang, ibu minta kamu beli gula sekilo di toko Pak Salim!” Ibu memberikan uang tiga ribu rupiah.
“Wah, ibu mau menguji ya?”. Ledek Adi lalu berlari keluar pagar. Ibunya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Adi mampir ke rumah Ilham. Kedua anak itu lalu pergi bersama ke toko Pak Salim. Adi mengambil gula sekilo, lalu berjalan menuju kasir. Tanpa memandang Adi, Pak Salim mengambil uang pembayaran dari Adi. Tak lama kemudian ia memberi adi uang kembali tiga ratus rupiah dan dua permen.
“Saya minta uang saja pak, jangan permen,’ tolak Adi sopan.
“Tidak ada,” jawab Pak Salim pendek.
“Masa’ tidak ada pak?” desak Adi lagi. Pak Salim terperangah. Ia menatap Adi. “Ada kan pak?” desak Adi lagi.
“Eh kamu ini! Dibilang tidak ada, masih ngotot juga,” bentak Pak Salim.
Dibentak begitu, Adi kaget juga. Ia lalu keluar toko dengan cemberut.
“sudah, jangan sewot terus. Aku punya ide untuk membuktikan jujur atau tidaknya Pak Salim,” ujar Ilham sambil mengambil permen dari tangan Adi.
Suatu sore, toko Pak Salim sedang ramai. Ilham dan Adi berada di antara para pembeli. Mereka sengaja memisahkan diri. Adi di bagian makanan. Ilham di bagian alat tulis. Ilham mengambil sebuah kotak pinsil. Harganya Rp. 4.750,- Ia lalu menuju kasir yang sedang sepi. Ilham menyerahkan kotak pinsil dan uang Rp. 4750,- Pak Salim menatap sejenak uang itu, kemudian mulai menghitung. Cukup lama juga. Maklum saja, uang Ilham semuanya recehan. Mulai dari Rp. 100,- sampai dengan Rp. 25,- “Apa tidak ada uang ribuan?”tanya Pak Salim setengah mengeluh. Ilham menggeleng sambil menahan tawa.
Setelah selesai, Ilham segera meninggalkan kasir. Pada saat itu di belakangnya sudah ada beberapa orang yang antri. Adi berada di deretan ke tiga. Sesuai rencana, Ilham mencari tempat yang tak jauh dari kasir. Saat itu, Ilham melihat pembeli yang tadi berdiri persis di belakangnya, masih saja menerima kembalian berupa permen.
Sekarang tiba giliran Adi. Ia menyerahkan sebatang cokelat pada Pak Salim dan uang Rp. 2500,- Ketika Pak Salim menyerahkan uang Rp. 100,- dan sebuah permen, Adi langsung protes. “Wah pak, saya kan sudah beli permen cokelat. Jangan diberi permen lagi. Saya minta uang kembaliannya.”
Pak Salim kaget. “Kamu lagi rupanya. Dasar anak nakal. Sudah dibilang tidak ada uang kecil, masih ngotot juga,” hardik Pak Salim menarik perhatian pembeli lainnya. Orang-orang menatap aneh pada Adi. Adi jadi salah tingkah. Melihat Adi terpojok, Ilham mengumpulkan keberaniannya.
“Pak Salim pembohong!” teriaknya. “Saya tadi baru beli kotak pinsil. Uang saya semua recehan. Jadi bohong, kalau Bapak tidak punya uang kecil.”
Pak Salim terkejut setengah mati. Ia berusaha mengelak. Akan tetapi ia tak bisa berkutik ketika beberapa orang melongok ke laci kasir yang terbuka dan dipenuhi uang recehan.
“Wah, nanti saya juga jangan di kasih permen ya pak,” celetuk seorang pembeli. Suasana jadi gaduh. Ilham dan Adi keluar dari toko.
“Akhirnya, ketahuan juga liciknya, ya, Il” ujar Adi lega.
Ilham diam saja. Saat ini pikirannya sedang melayang-layang. Ia sedang berpikir, untuk apa kotak pinsil yang baru dibelinya. Ilham baru ingat, kalau kotak pinsil sama persis dengan kotak pinsil yang dibelinya seminggu lalu di koperasi sekolah.
Selasa, 23 Desember 2008
Permen Pembawa Masalah
Diposting oleh FiRhaZonA di 01.13
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar